Mungkin aku bodoh.
Aku menolak tawaran investasi yang bisa membuat penghasilanku naik sepuluh kali lipat.
Temanku datang membawa proposal, lengkap dengan rencana ekspansi besar-besaran. Ia ingin inject dana ke bisnisku agar bisa tumbuh lebih cepat, lebih besar, lebih menjanjikan.
Tapi aku menolaknya.
Bukan karena idenya buruk. Bukan juga karena aku tidak percaya pada potensinya. Alasanku sederhana, aku sudah cukup.
Usahaku sekarang memang tidak luar biasa besar, tapi hasilnya cukup untuk menghidupi keluarga. Aku bisa menabung setiap bulan, membayar sekolah anak, dan memenuhi kebutuhan rumah tangga tanpa harus cemas setiap tanggal tua.
Dan yang paling penting, aku punya waktu.
Waktu untuk makan malam bersama anakku. Waktu untuk ikut belanja bulanan di supermarket bersama istriku. Waktu untuk menjemput anak sekolah, atau sekadar menemani mereka nonton kartun di ruang tamu sambil minum teh.
Aku sangat menikmatinya.
Mungkin bagi sebagian orang itu hal biasa, tapi bagiku, itu kemewahan yang tidak bisa dibeli dengan uang.
Kalau aku menerima tawaran investasi itu, semuanya akan berubah. Aku tahu ritmenya. Target, rapat, ekspansi, laporan, evaluasi, tekanan, dan ekspektasi tinggi dari investor. Semua itu akan menyita waktuku.
Aku tahu karena aku pernah jadi orang yang seperti itu ambisius.
---
Beberapa tahun lalu, aku adalah tipe orang yang tak mau berhenti berlari. Selalu ada target baru, pencapaian baru, angka baru yang ingin kukejar. Aku merasa puas kalau bisa menembus rekor omzet, nambah armada baru, atau membeli alat kerja yang lebih canggih.
Hidupku berputar di sekitar kata “lebih”. Lebih besar. Lebih cepat. Lebih sukses.
Sampai di penghujung tahun 2018, ibuku berpulang karena kanker. Itu titik balik terbesar dalam hidupku.
Aku ingat betul, saat itu usahaku sedang di puncak. Order banyak, tim solid, dan keuangan lancar. Tapi ketika kabar itu datang, semua rasa bangga dan pencapaian itu seolah lenyap begitu saja.
Rasanya hampa.
Selama ini aku berjuang keras karena ingin membahagiakan beliau. Aku ingin beliau bangga. Ingin menunjukkan bahwa anaknya bisa berhasil meski berangkat dari nol. Tapi ketika orang yang menjadi alasanku berjuang sudah tidak ada, aku kehilangan arah.
Ambisiku ikut pergi bersama kepergian beliau. Dan entah kenapa, aku tidak ingin mencarinya lagi.
---
Sejak saat itu, aku mulai mengubah cara pandangku terhadap hidup dan uang. Dulu, bagiku uang adalah ukuran keberhasilan. Sekarang, uang hanyalah alat.
Aku tidak menolak uang, tapi aku tidak mau diperbudak olehnya.Aku ingin hidup yang seimbang cukup secara finansial, tapi juga cukup waktu untuk menikmati hasilnya.
Aku belajar menerima bahwa tidak semua orang harus kaya luar biasa untuk bisa bahagia.
Bahagia itu sederhana duduk makan malam bersama keluarga tanpa tergesa, mendengarkan tawa anak, atau sekadar berjalan sore tanpa memikirkan target bulan depan.
Dulu, aku berpikir “cukup” itu tanda menyerah. Sekarang aku tahu, “cukup” justru tanda kedewasaan.
Karena untuk merasa cukup, seseorang harus tahu kapan berhenti mengejar hal yang tidak lagi memberi makna.
---
Temanku sempat heran kenapa aku menolak tawarannya. Katanya, ini kesempatan besar. Dia bahkan mencoba meyakinkanku, bahwa jika aku mau ekspansi, bisnis ini bisa jadi perusahaan nasional, bahkan bisa franchise ke kota lain.
Aku hanya tersenyum.
Dalam hati aku tahu, dia benar. Tapi aku juga tahu, itu bukan jalanku. Aku tahu karakter temanku ambisius, cepat, dan punya dorongan kuat untuk menang besar.
Aku pernah berada di posisi itu, dan aku tahu harganya: waktu, pikiran, bahkan hubungan. Aku tidak mau kehilangan lagi sesuatu yang tidak bisa aku beli kembali.
Mungkin baginya aku bodoh, menolak kesempatan emas. Tapi aku tidak merasa rugi sedikit pun. Aku justru merasa tenang, karena aku tahu kenapa aku memilih jalan ini.
---
Kadang aku merenung, “Kalau saja Ibu masih ada, mungkin beliau akan tersenyum melihat aku sekarang.” Bukan karena aku kaya raya, tapi karena aku akhirnya mengerti apa yang dulu sering beliau katakan.
Ibu selalu bilang, “Hidup itu bukan tentang seberapa banyak kamu punya, tapi seberapa banyak kamu bisa nikmati.”
Dulu aku tidak paham kalimat itu. Sekarang aku benar-benar mengerti. Karena percuma punya banyak uang kalau tidak punya waktu untuk menikmatinya. Percuma bisnis besar kalau keluarga jadi asing di rumah sendiri.
Jadi, aku memilih jalan yang berbeda. Aku memilih jalan yang pelan tapi tenang. Aku tetap bekerja keras, tapi bukan untuk membuktikan apa pun. Aku bekerja agar keluargaku hidup nyaman, anakku punya masa depan, dan aku punya waktu untuk melihat mereka tumbuh.
---
Aku sadar, jalan yang kupilih ini mungkin tidak cocok untuk semua orang. Ada orang yang bahagia kalau hidupnya sibuk, ada juga yang puas ketika terus berambisi. Dan itu tidak salah.Setiap orang punya caranya sendiri dalam mencari arti hidup.
Aku hanya memilih versi kebahagiaanku sendiri versi yang sederhana, hangat, dan nyata. Bagiku, hidup bukan lagi tentang siapa yang paling cepat naik, tapi siapa yang paling lama bertahan menikmati perjalanannya.
Aku mungkin tidak lagi punya ambisi besar seperti dulu, tapi aku punya ketenangan yang dulu tidak pernah aku miliki. Dan ketenangan itu, bagiku, jauh lebih berharga daripada uang sebesar apa pun.
---
Mungkin aku bodoh di mata orang lain. Tapi kalau kebodohan ini membuatku punya waktu makan malam bersama anak, bisa jalan sore sambil menggandeng tangan istri, dan tertawa lepas di ruang tamu tanpa memikirkan target besok, maka biarlah aku tetap bodoh. Karena ternyata, di kebodohan inilah aku akhirnya menemukan arti hidup yang sesungguhnya.
.jpg)
No comments:
Post a Comment