Aku lulusan STM Pembangunan Jurusan Kimia Industri.
Sekolahku bukan sekolah biasa ini salah satu sekolah perintis pembangunan yang didirikan di era Orde Baru. Hanya ada lima sekolah seperti ini di seluruh Indonesia. Kurikulumnya berbeda, gaya belajarnya mirip seperti kuliah, dan misinya jelas: mencetak tenaga siap kerja untuk mendukung pembangunan nasional yang dicanangkan oleh Presiden Soeharto.
Di Surabaya, sekolah ini sangat disegani. Banyak orang tua yang bangga jika anaknya bisa masuk STM Pembangunan. Aku pun begitu. Aku merasa sudah di jalur yang benar, jalur yang menjanjikan masa depan.
Setelah lulus, aku sama sekali tidak kepikiran untuk kuliah. Di sekolah kami, tidak ada dorongan untuk melanjutkan pendidikan tinggi. Semua diarahkan untuk langsung bekerja di industri. Dan waktu itu, aku percaya penuh.
Buat apa kuliah, kalau lulus STM saja sudah bisa kerja dan punya penghasilan tetap?
Keyakinan itu begitu kuat sampai akhirnya aku bekerja.
Aku diterima di sebuah pabrik mie instan di Pasuruan. Sebagai lulusan Kimia Industri, pekerjaan itu sebenarnya sangat cocok. Tapi baru tiga bulan bekerja, aku mulai merasakan sesuatu yang aneh: ini bukan hidup yang aku mau.
Setiap hari aku harus berangkat pagi, pulang sore, dengan jadwal kerja enam hari seminggu dan hanya satu hari libur. Rutinitas yang monoton, bisingnya mesin pabrik, aroma bahan kimia yang menempel di pakaian semuanya membuatku mulai berpikir ulang tentang masa depan.
Di kepala, muncul satu pikiran sederhana tapi mengusik:
“Aku ingin punya hidup seperti pegawai negeri kerja lima hari, libur dua hari tapi bukan jadi PNS.”
Pikiran itu awalnya terasa lucu, tapi semakin lama semakin kuat. Aku ingin punya waktu untuk diriku sendiri. Aku ingin berkembang, bukan hanya mengulangi rutinitas setiap hari. Akhirnya, setelah tiga bulan bekerja, aku memutuskan untuk berhenti.
Keputusan itu sempat membuat banyak orang di sekitarku heran. Tapi aku tahu, aku sedang mencari arah baru dalam hidupku. Aku mulai belajar lagi, mengambil matrikulasi untuk tes masuk perguruan tinggi.
Hasilnya?
Tidak sebagus yang aku harapkan. Tapi cukup untuk membuatku diterima di Diploma Statistika ITS.
Masuk kampus membuka mataku. Dunia kuliah ternyata benar-benar berbeda dari dunia STM. Di sini, aku bertemu banyak orang dengan latar belakang, cara berpikir, dan tujuan hidup yang sangat beragam. Aku seperti keluar dari “kotak” yang selama ini membatasi pikiranku.
Kalau dulu aku berpikir hidup itu hanya soal “bekerja agar bisa makan dan punya gaji tetap”, di kampus aku belajar bahwa hidup bisa lebih luas dari itu. Ada konsep inovasi, manajemen, ekonomi, strategi hal-hal yang tidak pernah aku pikirkan sebelumnya.
Selama kuliah di Diploma ITS, aku mulai membuka pikiranku terhadap dunia baru. Aku tak lagi terpaku pada pola pikir 5 hari kerja dan 2 hari libur. Aku mulai membayangkan hidup yang lebih fleksibel, lebih mandiri, dan lebih bermakna.
Setelah lulus dari ITS, aku tidak berhenti di situ. Aku melanjutkan kuliah ke Universitas Airlangga (Unair) mengambil jurusan Manajemen. Jurusan ini agak berbeda dari latar belakangku sebelumnya, tapi justru di sinilah pikiranku benar-benar terbuka lebar.
Kalau di statistika aku belajar cara membaca data, di manajemen aku belajar cara membaca manusia dan sistem.
Dan ternyata, keduanya sangat saling melengkapi.
Setelah lulus, aku sempat bekerja sebagai Personal Assistant CEO di sebuah perusahaan retail. Di sinilah semua ilmu yang kupelajari terasa nyata manfaatnya.
Setiap hari aku berhadapan langsung dengan seorang pemimpin perusahaan besar. Aku ikut rapat, membuat laporan, menyusun strategi, dan melihat bagaimana keputusan-keputusan penting diambil.
Dari posisi itu, aku banyak belajar tentang dunia bisnis yang sesungguhnya. Aku melihat bagaimana seorang CEO berpikir, mengambil risiko, dan memimpin tim. Aku juga belajar tentang networking bahwa relasi yang baik bisa membuka pintu-pintu kesempatan baru yang tidak pernah kita duga sebelumnya.
Kadang aku berpikir, “Kalau dulu aku tidak kuliah, mungkin aku tidak akan pernah berada di ruangan ini.”
Mungkin aku hanya akan menjadi staf laboratorium di pabrik, mengambil sampel bahan setiap hari, tanpa tahu apa-apa tentang strategi bisnis atau cara membangun perusahaan.
Karena faktanya, di perusahaan tempat aku bekerja dulu, untuk bisa memimpin atau menjabat sebuah departemen, syaratnya harus lulusan diploma atau sarjana.
Dan dari situ aku sadar pendidikan membuka pintu yang tidak akan pernah terbuka untuk orang yang berhenti belajar.
Keputusan untuk kuliah benar-benar mengubah hidupku.
Bukan hanya soal gelar, tapi soal cara berpikir dan melihat dunia.
Kalau dulu aku hanya melihat pekerjaan sebagai rutinitas, sekarang aku melihatnya sebagai sistem nilai yang bisa dikembangkan. Kalau dulu aku berpikir tentang gaji, sekarang aku berpikir tentang menciptakan lapangan kerja.
Aku juga menyadari bahwa kuliah tidak langsung membuat seseorang mapan secara finansial.
Tapi kuliah memperbesar peluang seseorang untuk menjadi mapan secara finansial.
Karena pendidikan membuka akses menuju posisi high income. Dan dari posisi itu, kita bisa melompat lebih jauh membangun bisnis, memperluas jaringan, dan memahami sistem ekonomi dengan lebih matang.
Selain itu, kuliah mempertemukanku dengan banyak orang hebat.
Koneksi dan relasi dari kampus sangat berpengaruh dalam perjalanan karierku.
Teman-teman seangkatan banyak yang kini bekerja di posisi manajerial, proyek besar, bahkan beberapa sudah jadi pengusaha sukses. Lingkungan itu membuatku terus belajar dan tidak pernah puas hanya di satu titik.
Semua itu sangat berbeda dengan mindset-ku ketika masih menjadi lulusan STM.
Kalau dulu aku berpikir “yang penting kerja”, sekarang aku berpikir “bagaimana menciptakan nilai”.
Kalau dulu aku fokus pada survival, sekarang aku fokus pada growth.
Dan sekarang, ketika aku melihat ke belakang, aku benar-benar bersyukur pernah mengambil keputusan nekat untuk kuliah. Karena dari sanalah semua perubahan hidupku bermula.
Bisnis jasa kebersihan yang aku jalankan saat ini yang stabil, berkembang, dan memberi waktu luang untuk keluarga semuanya bisa berjalan lancar karena pondasi pemikiran yang aku dapatkan dari pendidikan tinggi.
Tanpa kuliah, mungkin aku tidak akan punya cara berpikir yang sistematis. Tidak bisa membaca peluang pasar. Tidak paham pentingnya branding, strategi operasional, dan efisiensi manajemen.
Sekarang aku percaya, setiap keputusan besar selalu diawali dari kegelisahan kecil.
Kegelisahan saat aku merasa lelah bekerja di pabrik mie dulu, ternyata adalah pintu menuju hidup yang lebih besar.
Aku belajar bahwa pendidikan bukan sekadar soal ijazah tapi soal membuka diri untuk berkembang.
Dan ketika kita membuka pikiran, dunia pun ikut terbuka.
.jpg)
No comments:
Post a Comment