Sunday, October 26, 2025

Begin with the End:
Keputusan Besar di Tahun 2012


Tahun 2012 adalah tahun yang tidak akan pernah aku lupakan. Tahun di mana aku membuat keputusan besar yang mengubah arah hidupku.

Aku menutup bisnis bimbingan belajar yang sudah enam tahun aku rintis. Sebuah bisnis kecil di level kampung, tapi penuh cerita dan perjuangan.

Secara pendapatan, bisnis itu menyenangkan. Dari hasil bersihnya saja, aku bisa mendapatkan hampir empat kali lipat UMR. Untuk ukuran bimbingan belajar kecil, itu pencapaian yang cukup membanggakan. Tapi di balik angka yang tampak indah itu, ada hal besar yang mulai mengusikku,  waktu.

Jam operasional bimbingan belajarku dimulai setelah jam pulang sekolah, dan biasanya baru selesai sekitar jam 10 malam. Itu artinya, kalau suatu hari nanti aku punya anak, kemungkinan besar aku tidak akan pernah sempat menemaninya belajar, bermain, atau sekadar menemaninya tidur. 

Aku sadar, kalau aku terus menjalankan bisnis ini, aku mungkin akan jadi orang sukses di mata banyak orang, tapi gagal di mata anakku sendiri.

Mencoba realistis

Padahal waktu itu aku belum menikah. Tapi entah kenapa, bayangan tentang masa depan itu sudah sangat jelas di kepalaku. Aku bisa membayangkan diriku yang sibuk mengajar dari siang sampai malam, sementara anakku menunggu di rumah hanya untuk sekadar makan malam bersama.

Aku sempat mencoba mencari solusi. Aku coba mendelegasikan sebagian tanggung jawabku ke partner bisnis, tapi hasilnya tidak seperti yang aku harapkan. Ada hal-hal yang ternyata tidak bisa diserahkan begitu saja terutama hubungan personal dengan para siswa dan orang tua mereka. Akhirnya setelah melalui perenungan panjang, aku memutuskan untuk menutup bisnis itu.

Rasanya campur aduk.

Sedih, kecewa, dan jujur saja, sempat merasa gagal.

Bisnis pertamaku, yang selama ini aku bangun dengan keringat dan waktu, harus berhenti. Tapi aku juga tahu, itu keputusan yang harus aku ambil.

Aku hanya berusaha realistis dengan hidupku. Aku ingin punya bisnis yang bukan hanya menghasilkan uang, tapi juga memberi waktu. Waktu untuk keluarga, waktu untuk menikmati hidup, dan waktu untuk hal-hal kecil yang sering kita lewatkan karena sibuk bekerja.

Mungkin karena aku tumbuh tanpa sosok ayah, aku jadi sangat memperhatikan hal ini. Orang tuaku bercerai saat aku berusia lima tahun, dan sejak itu aku hidup bersama ibuku. Aku tahu rasanya tumbuh tanpa sosok papa di rumah. 

Mungkin karena itulah, sejak muda aku punya tekad: jika nanti aku punya anak, aku ingin hadir untuknya benar-benar hadir, bukan sekadar memberikan uang.

Kembali kerja kantoran

Setelah menutup bimbingan belajar, aku memutuskan untuk kembali bekerja kantoran. Bukan karena menyerah, tapi karena ingin belajar. Aku butuh pengalaman baru, sudut pandang baru, dan kesempatan untuk memahami dunia bisnis dari sisi yang lebih profesional. 

Selama bekerja, aku terus mencari-cari ide bisnis yang sesuai dengan kriteriaku: menghasilkan cukup untuk hidup di Surabaya, tapi tidak menyita waktu bermain dengan anak. Aku ingin punya bisnis yang bisa berjalan tanpa harus membuatku bekerja dari pagi sampai malam.

Dua tahun aku bekerja sebagai personal assistant CEO di sebuah perusahaan retail. Dari posisi itu, aku belajar banyak hal terutama tentang cara berpikir seorang pebisnis besar. Aku ikut rapat-rapat penting, mendengarkan cara bosku membuat keputusan, dan melihat bagaimana ia membangun jaringan relasi.

Setiap kali bertemu tamu atau rekan bisnis bosku, aku selalu memperhatikan. Kadang, sepulang kerja, aku mencatat apa yang kupelajari hari itu. Bagaimana cara mereka berpikir, mengelola tim, dan membangun sistem. Semua aku serap.

Selain itu, aku juga rajin membaca majalah bisnis SWA. Dari sana aku belajar tentang berbagai model bisnis, strategi marketing, sampai kisah perjalanan wirausahawan sukses di Indonesia. Aku juga mulai membeli banyak buku bisnis, terutama yang membahas tentang manajemen dan pemasaran.

Latar belakang pendidikanku di Statistika dan Manajemen ternyata sangat membantu. Aku jadi lebih mudah menganalisis data, membaca peluang, dan memahami bagaimana sebuah sistem bisnis bisa berjalan efisien.

2017 Memulai bisnis baru

Sampai akhirnya, di tahun 2017, aku memutuskan untuk resign dan memulai bisnis baru jasa kebersihan.

Bisnis ini aku jalankan dengan teman sekantorku dulu. Aku hanya berpikir, semua orang butuh kebersihan, tapi tidak semua orang punya waktu untuk melakukannya. Dari situ, aku melihat celah pasar.

Bisnis ini terasa cocok sekali. Aku bisa mengatur jadwal kerja dengan fleksibel, dan sebagian besar operasional bisa dijalankan oleh tim. Artinya, aku tetap bisa punya waktu untuk keluarga.

Kini, delapan tahun sudah aku menjalani bisnis ini. Dan kalau aku lihat ke belakang, aku bisa tersenyum lega. Tujuanku dulu tercapai: aku punya bisnis yang cukup untuk hidup layak, tapi tidak mengganggu waktu bermain dengan anak.

Hari-hariku kini jauh lebih tenang. Aku bisa antar jemput anak sekolah, membantu mengerjakan PR, bahkan main game atau beli ikan bareng di pasar. Hal-hal sederhana yang mungkin sepele bagi orang lain, tapi sangat berarti bagiku. Karena aku tahu, waktu bersama anak itu singkat dan tidak akan pernah bisa diulang.

Dulu, ketika aku menutup bisnis pertamaku, banyak orang yang menyayangkan keputusanku. Mereka bilang aku terlalu cepat menyerah, padahal bimbingan belajarku punya potensi besar. Bahkan beberapa muridku sempat meneteskan air mata. Mereka bilang aku guru yang sabar dan telaten, yang tidak hanya mengajar pelajaran, tapi juga memberi semangat.

Tapi sekarang, setelah melihat perjalanan hidupku, aku sadar bahwa keputusan itu benar. Kadang, kita harus berani kehilangan sesuatu yang kita cintai untuk mendapatkan sesuatu yang lebih berarti.

Begin with the end in mind

Dalam ilmu manajemen, ada prinsip yang sangat aku pegang: “Begin with the end in mind”, salah satu dari 7 Habits of Highly Effective People karya Stephen Covey.

Prinsip ini mengajarkan kita untuk memulai segala sesuatu dengan gambaran akhir yang jelas. Kita perlu tahu seperti apa hidup yang kita inginkan, lalu menarik mundur langkah-langkah yang harus kita ambil untuk mencapainya.

Dalam kasusku, aku tahu “akhir” yang kuinginkan: bisnis yang hasilnya cukup dan tidak mengganggu waktu bersama anak. Dari sana, aku tinggal mencari apa yang bisa memenuhi kriteria itu.

Aku tidak ingin hidupku habis hanya untuk mengejar angka, sementara kehilangan momen berharga bersama keluarga.

Kini aku bisa bilang, keputusanku di tahun 2012 adalah titik balik. Bukan kegagalan, tapi sebuah strategi hidup.

Dan kalau ada pelajaran besar yang bisa aku bagi dari perjalanan ini, mungkin ini:

Kesuksesan sejati bukan hanya soal seberapa besar uang yang kita hasilkan, tapi seberapa dekat hidup kita dengan tujuan yang kita angankan.


No comments:

Post a Comment