Sunday, November 2, 2025

Jalan Rejeki Guru SD


Aku dulu sempat kerja sebagai guru SD swasta. Gajiku? Ya, standar UMR lah. Kadang kalau lihat teman-teman lain yang bisa beli mobil atau liburan ke luar kota, aku suka mikir, “Kapan ya bisa kayak mereka?” Bukan iri sih, cuma pengen aja ngerasain hidup yang lebih lega dari sisi keuangan.

Aku cinta pekerjaanku, jujur aja. Ngajar anak-anak itu punya kepuasan tersendiri. Lihat mereka bisa baca lancar, ngerti konsep pecahan, atau mulai berani ngomong di depan kelas  rasanya priceless. Tapi di sisi lain, aku juga sadar, cinta aja gak cukup buat bikin dompet tebal.

Jadi, aku mulai mikir serius soal satu hal: gimana caranya meningkatkan penghasilan. Kalau terus bergantung sama gaji guru, kayaknya agak susah buat naik kelas secara finansial.

Pertama-tama, aku coba lihat ke dalam: “Kalau pengen naik gaji, jalurnya apa sih di sekolahku?”

Ternyata pilihannya gak banyak. Kalau mau naik pendapatan, ya harus ikut sertifikasi guru. Lumayan sih, nanti gaji bisa naik  tapi gak sampai dua kali lipat UMR. Sementara targetku, jujur aja, pengen bisa dapetin empat kali UMR.

Aku juga sempat lihat jenjang karir di sekolah. Kalau mau naik posisi, ya harus sabar. Harus nunggu yang senior-senior pensiun dulu. Artinya, mungkin butuh waktu 5–10 tahun. Aku bisa sabar, tapi pertanyaannya: “Kalau nanti udah sampai sana, hasilnya sepadan gak?”

Kayaknya enggak. Jadi aku mulai nyari cara lain.

Setelah tanya sana-sini, ngobrol sama beberapa teman, dan banyak mikir, akhirnya aku nemuin pola. Setidaknya ada empat cara buat ningkatin penghasilan. Dan masing-masing punya konsekuensi sendiri.

1. Naik penghasilan secara horizontal

Maksudnya, tetap di profesi yang sama tapi nambah jam kerja. Misalnya, aku bisa buka les privat di rumah-rumah. Lumayan banget buat nambah pemasukan.

Waktu itu aku sempat nyoba. Pulang sekolah jam dua siang, istirahat bentar, terus lanjut ngajar les sampai malam. Awalnya semangat banget. Soalnya langsung kerasa tambahan uangnya. Tapi lama-lama capek juga. Rasanya kayak kerja dua shift.

Anak-anak yang aku lesin juga gak selalu fokus, kadang mereka udah capek duluan. Aku juga. Ujung-ujungnya malah sering kehabisan energi, gak punya waktu buat diri sendiri.

Aku sadar, cara ini cuma bisa dipakai sementara. Karena seberapa kuat sih badan ini kerja 12 jam tiap hari?

Jadi, walaupun hasilnya cepat, tapi mentok di tenaga. Dan kalau capeknya udah kebangetan, ujung-ujungnya malah berhenti lagi.

2. Naik penghasilan secara vertikal

Ini versi “main aman”. Fokus di sekolah, tunjukin kinerja terbaik, dan berharap bisa naik jabatan. Entah jadi koordinator, wakasek, atau kepala sekolah.

Tapi setelah aku amati, perjalanan ke sana tuh panjang banget. Banyak yang lebih senior, dan sistemnya juga gak sepenuhnya berdasarkan performa. Ada faktor lain  relasi, pengalaman, kadang juga keberuntungan.

Kalau pun berhasil naik, peningkatan penghasilannya gak sebanding sama usahanya. Mungkin lebih stabil, tapi gak bakal bikin lonjakan yang signifikan.

Akhirnya aku sadar, kalau berharap banyak dari karir formal sebagai guru, ya susah. Profesi ini memang lebih ke panggilan hati daripada jalan cepat menuju sejahtera.

3. Lompat ke pekerjaan berpenghasilan tinggi

Nah, ini ide yang agak gila waktu itu. Aku mulai mikir, gimana kalau aku lompat aja ke bidang lain? Sesuatu yang punya potensi penghasilan lebih besar.

Kebetulan aku suka main media sosial. Awalnya cuma buat pelarian saat lagi jenuh ngajar. Tapi lama-lama aku ngerti polanya  cara bikin konten, ngatur engagement, sampai tahu jam-jam terbaik buat posting.

Dari situ muncul ide: kenapa gak sekalian digarap serius?

Aku bisa mulai bantu temen yang punya usaha buat ngelola akun sosmed-nya. Bayarannya gak seberapa di awal, tapi seru banget. Rasanya kayak dunia baru yang penuh tantangan.

Yang menarik, di bidang ini potensi penghasilannya bisa tinggi banget. Asal konsisten, terus belajar, dan mau adaptasi. Orang-orang yang serius main di dunia digital marketing atau content creation, bisa dapat gaji jauh lebih tinggi dari empat kali UMR.

Bisa juga menjadi pilihan, aku harus belajar banyak untuk membuatnya lebih terstruktur, kalau mau lompat di bidang ini. Meskipun bidang lain juga bisa sih. 

Yang jelas aku mulai terbuka berbagai kemungkinan. Karena, kadang perubahan nasib datang bukan dari nunggu giliran, tapi dari berani lompat.

4. Campur semua strategi

Ini cara yang paling kompleks tapi juga paling menarik. Campur semuanya. Masih tetap ngajar, sambil buka les, ikut sertifikasi, tapi juga mulai bangun karir di bidang lain.

Kelebihannya, penghasilan bisa dari banyak sumber. Kekurangannya, ya capeknya dobel. Butuh fokus dan tenaga yang luar biasa.

Aku kenal beberapa orang yang bisa jalanin model ini, tapi mereka orangnya super disiplin dan punya energi kayak gak ada habisnya.

Kalau aku lihat diriku sekarang, mungkin belum sampai situ. Tapi pelan-pelan bisa dicoba. Misalnya, tetap ngajar di sekolah, tapi di waktu luang mulai ngerjain proyek digital kecil-kecilan.

Kesimpulan

Dari semua opsi itu, aku belajar satu hal penting, Kalau pengen hidup berubah, harus berani bergerak.

Menunggu sistem berubah itu sia-sia. Menunggu senior pensiun juga gak menjamin. Kalau pengen pendapatan naik, ya harus cari celah entah itu lewat skill baru, proyek sampingan, atau pindah haluan sekalian.

Aku juga belajar buat gak merasa bersalah karena pengen lebih. Kadang, orang suka bilang, “Yang penting kan ikhlas ngajar, jangan mikir uang.”

Tapi aku pikir, kenapa enggak dua-duanya? 

Aku bisa tetap jadi guru yang baik dan hidup dengan lebih sejahtera.

Aku percaya setiap orang punya jalan masing-masing. Ada yang bahagia di satu profesi seumur hidup, ada juga yang harus nyoba beberapa kali sebelum nemu jalannya. Yang penting, jangan berhenti nyari.

Dan kalau nanti aku benar-benar bisa mencapai penghasilan empat kali UMR itu, aku tahu pasti. Itu bukan karena keberuntungan, tapi karena aku berani melangkah lebih jauh dari “sekadar cukup.”



No comments:

Post a Comment