Tahun 2014, aku punya tabungan yang lumayan besar. Jumlahnya cukup untuk memberangkatkan ibuku naik haji plus-plus — bukan haji biasa, tapi yang pelayanannya lebih nyaman dan lebih cepat berangkatnya.
Tapi waktu itu aku mikir lain. Aku pengen rumah ibu jadi bagus dulu. Aku pengen kalau ada tamu datang, ibu gak malu saat tamunya izin ke kamar mandi. Aku tahu betul, rumah lama kami itu sudah mulai rapuh dan terkesan tua.
Akhirnya aku sampaikan rencanaku ke ibu. “Ibu, aku pengen bangunin rumah ini biar bagus, biar ibu nyaman.”
Tapi ibu malah keberatan. Katanya uangnya terlalu banyak, sebaiknya buat aku sendiri aja. “Buat beli rumah kamu aja, Nak. Ibu gak apa-apa rumahnya begini aja.”
Tapi aku cuma jawab pelan, “Bu, uang ini tanda baktiku sama ibu. Terima kasih karena udah membesarkan dan menjagaku selama ini.”
---
Rumah yang aku dan ibu tinggali waktu itu adalah rumah warisan dari kakek.
Rumah lama dengan langit-langit rendah, temboknya mulai retak halus, dan bagian dapur yang sering bocor kalau hujan deras.
Tapi rumah itu punya kenangan panjang. Luasnya lumayan besar untuk ukuran kampungku, sekitar 15 x 20 meter.
Tukang yang aku panggil buat ngukur bilang, “Mas, kalau mau dibenerin agak susah. Ini pondasinya udah tua. Mending dibangun dari awal aja sekalian.”
Aku cuma diam. Dalam hati mikir, wah, ini bakalan habis banyak nih. Tapi ya sudah. Aku jalanin aja niatku.
---
Akhirnya, benar saja. Uang tabunganku habis semua buat bangun rumah ibu. Mulanya aku pikir cukup buat renovasi besar, ternyata merembet ke mana-mana. Dari bongkar total, pondasi baru, rangka atap, sampai finishing interior.
Tapi setiap kali aku lihat wajah ibu yang bahagia, semua rasa capek dan kekhawatiran soal uang hilang. Rumah itu jadi simbol cintaku ke ibu.
---
Beberapa bulan kemudian, di akhir tahun 2014, aku menikah. Setelah menikah, aku memutuskan keluar dari rumah ibu dan tinggal di rumah kontrakan kecil di daerah ketintang Surabaya.
Ibu sempat heran, “Lho, kenapa gak tinggal di rumah ini aja dulu? Kan masih longgar.”
Aku cuma tersenyum, “Aku pengen mandiri, Bu. Aku pengen belajar hidup sendiri. ”
Waktu itu aku belum punya rumah sendiri, tapi aku juga gak berniat ambil KPR. Bukan karena gak bisa, tapi karena aku punya niat lain ngumpulin modal buka usaha.
---
Tahun 2014, harga rumah di daerah Ketintang, Surabaya, sekitar 400 jutaan untuk ukuran 90 meter persegi. Banyak temanku yang mulai berli rumah, ambil KPR di bank, tapi aku memilih ngontrak, menabung dan mempersiapkan modal bisnis.
Aku pikir, bisnis bisa ngasih aku kebebasan finansial lebih cepat daripada KPR yang nyicil 20 tahun.
Aku ingat betul pikiranku waktu itu: “Daripada nyicil rumah 20 tahun, mending uangnya aku kelola sendiri. Biar berkembang lewat usaha.”
Dan itu keputusan yang aku ambil dengan penuh keyakinan.
---
Waktu berjalan cepat. Sekarang tahun 2025, sebelas tahun berlalu sejak keputusan itu. Masih ngontrak dan harga rumah di Ketintang sekarang sudah menyentuh 1,2 miliar rupiah.
Tiga kali lipat dari harga dulu. Aku cuma bisa menghela napas panjang. “Kalau aja dulu aku beli rumah…”
Iya, penyesalanku selalu muncul di momen itu. Kalau dulu aku ambil KPR, mungkin sekarang cicilannya udah jalan separuh. Dan aku bisa punya aset berharga yang nilainya terus naik.
Kadang aku hitung-hitung di kepala. Kalau dulu ambil rumah harga 400 juta, nyicil 20 tahun, total pembayaran sekitar 800 juta. Tapi sekarang rumahnya sudah senilai 1,2 M. Berarti cicilan baru separuh jalan, tapi harganya sudah naik, untung 200 juta bersih dari total cicilan tanpa perlu mikir terlalu banyak.
Tapi ya sudah lah. Nasi sudah jadi bubur.
---
Aku juga gak pernah nyangka bakal ada pandemi COVID-19. Bisnis yang aku jalani mengalami ganguan. Tiga tahun penuh tekanan, bisnis turun, cash flow terkuras. Kalau waktu itu aku punya rumah sendiri, mungkin situasiku akan lebih tenang. Kalau jadi karyawan resiko kita cuma PHK, kalau jadi pebisnis, resiko kita bisnis kita bisa hilang dan modal yang sudah kita tabung sekian lama juga hilang.
Sekarang aku baru sadar, kadang keputusan yang kita anggap “paling logis” di masa lalu, bisa berubah jadi “pelajaran berharga” di masa depan.
---
Aku gak menyalahkan diriku. Tapi dari pengalaman ini, aku belajar satu hal penting, Jangan menunda punya rumah.
Banyak orang bilang, ambil KPR itu rugi. Bunganya tinggi, cicilannya lama, total bayar bisa dua kali harga rumahnya. Tapi kalau kita lihat dari sisi ekonomi makro jumlah manusia makin banyak, jumlah tanah gak nambah.
Artinya harga tanah pasti naik. Dan seiring pertumbuhan ekonomi, nilai properti akan ikut naik juga.
Jadi kalau ditanya sekarang, “Bang, menurutmu mending nabung dulu atau ambil KPR?”
Aku akan jawab tegas: “Ambil KPR. Asal sesuai kemampuan dan bukan buat gaya-gayaan.”
Karena kalau cuma nunggu uang cukup, mungkin gak akan pernah cukup. Harga rumah naiknya selalu lebih cepat dari kemampuan kita nabung.
---
Tiap orang punya prioritas hidup. Aku memilih bakti ke ibu dulu lalu fokus bangun bisnis, bukan beli rumah. Dan itu keputusan yang aku ambil dengan penuh kesadaran.
Tapi kalau aku bisa ngomong ke diriku di tahun 2014, aku akan bilang, “Main kamu kurang jauh, pelajari lagi personal finance saat kamu ingin berbisnis, semua ada resikonya, belajar dengan baik, pikirkan juga masa depanmu dan keluargamu matang matang.”
---
Sekarang aku sudah berdamai dengan penyesalan itu. Setiap kali aku lihat rumah ibu yang kokoh dan nyaman, hatiku tenang. Aku tahu, uang yang dulu aku keluarkan gak sia-sia. Sekarang bisnisku juga lumayan bagus, aku punya banyak insight untuk membesarkan bisnisku, kabar baik sepertinya sebentar lagi aku bisa beli rumah cash
Tapi di sisi lain, aku tetap menjadikan pengalaman ini sebagai pengingat bahwa keputusan finansial selalu punya konsekuensi panjang.
Jangan merencanakan hidup dengan perasaan dan emosi, libatkan juga logika.
>> Cerita yang lain <<
.jpg)
No comments:
Post a Comment