Aku masih ingat sore itu. Kami berlima nongkrong di Pizza Hut Tunjungan Plaza, Surabaya. Tempat yang dulu jadi favorit kami sejak lulus dari STM.
Biasanya obrolan kami receh, ngomongin guru yang killer, teman yang jadian, sampai mimpi-mimpi absurd yang nggak pernah serius dibahas.
Hari itu awalnya juga begitu. Ngobrol ngalor-ngidul, ketawa tanpa arah. Sampai aku tiba-tiba nyeletuk, “Eh, aku punya ide gila nih. Aku pengen punya bimbingan belajar sendiri. Dan meraih mimpi 1 M ku”
Teman-teman langsung diam.
Aku jelaskan dengan penuh semangat, gimana aku dulu pengalamanku jadi guru les privat waktu kuliah, gimana sistemnya bekerja, sampai peluang bisnisnya yang menurutku besar banget.
Aku bahkan cerita rencana detailnya dari konsep, target pasar, sampai strategi pemasaran. Top markotop. Hingga hitungan bagaimana aku bisa meraih 1 M tersebut.
Aku masih bisa membayangkan ekspresi wajahku waktu itu: penuh keyakinan dan antusiasme. Tapi yang aku dapat justru sebaliknya.
“Ngimpi!”
“Wah, kamu sok banget, bro. Gak bakal bisa lah.”
“Kamu kira gampang buka bimbel? Udah banyak yang gulung tikar.”
Aku kaget dong.
Kupikir mereka bakal kasih semangat, atau minimal dengarkan idenya dulu sebelum menilai. Tapi malah ditertawakan.
Lucunya, semakin aku berusaha menjelaskan dengan data dan logika, semakin keras mereka menertawakan.
“Udah lah, realistik dikit. Kamu tuh bukan anak orang kaya, gak punya modal besar. Mau buka usaha pakai apa?”
Kalimat itu menusuk banget.
Aku diam. Pandanganku kosong, sementara mereka masih tertawa. Di luar, suasana Pizza Hut tetap ramai, tapi di kepalaku cuma ada satu suara, “apa mungkin mereka benar…”
Tapi entah kenapa, setelah pulang, rasa sedih itu berubah jadi api kecil di dalam dada. Aku nggak mau membuktikan siapa pun salah, tapi aku pengen buktiin ke diriku sendiri bahwa aku bisa.
Mengumpulkan Informasi
Waktu itu aku masih jadi guru matematika SD. Gajiku nggak seberapa, tapi aku punya keyakinan kalau pendidikan bisa jadi ladang kebaikan sekaligus ladang rezeki.
Aku mulai kumpulin semua informasi yang aku bisa.
Internet belum seperti sekarang, YouTube juga belum seramai sekarang. Jadi sumber belajarku cuma buku dan seminar.
Buku pertama yang aku beli waktu itu karya Hermawan Kartajaya. Bahasa bisnisnya njelimet banget buatku yang masih pemula. Tapi aku baca terus, bahkan sampai bukunya lecek karena dibawa ke mana-mana.
Aku nggak punya mentor, nggak punya orang tua pebisnis, nggak punya saudara yang ngerti usaha. Jadi semuanya benar-benar otodidak.
Aku belajar dari nol, bagaimana mencari murid, bagaimana promosi dari mulut ke mulut, bagaimana menghitung modal, dan bagaimana menahan rasa takut gagal.
Siswa Pertama
Satu per satu langkah kecil aku ambil.
Aku mulai dengan satu siswa. Ya, cuma satu. Les di rumahku sendiri, pakai meja lipat. Kalau dia datang, aku bersihin dulu ruang tamu, gelar karpet, geser kursi, dan mulai ngajar dengan sepenuh hati.
Setelah beberapa minggu, siswa itu cerita ke temannya. Temannya daftar. Lalu temannya lagi.
Perlahan tapi pasti, jumlah siswa bertambah jadi lima, sepuluh, dua puluh, sampai akhirnya tiga puluh orang.
Waktu itu rasanya luar biasa. Aku sadar, ternyata yang aku butuhkan bukan restu dari orang lain, tapi keberanian untuk memulai.
Dari perjalanan itu aku belajar satu hal penting banget. Circle itu berpengaruh besar terhadap hidup kita.
Teman-teman nongkrongku dulu bukan orang jahat. Mereka cuma belum sampai di frekuensi yang sama. Mereka nyaman di zona “aman”, sementara aku pengen melangkah lebih jauh.
Dulu aku pikir punya banyak teman itu keren. Tapi sekarang aku paham, punya teman yang tepat jauh lebih penting daripada punya teman yang banyak.
Karena circle yang salah bisa bikin kamu ragu sama mimpimu sendiri.
Mencari Circle yang Tepat
Setelah kejadian di Pizza Hut itu, aku pelan-pelan mulai menjaga jarak. Bukan karena benci, tapi karena aku ingin fokus membangun diriku sendiri. Aku mulai cari lingkungan baru ikut seminar bisnis, gabung komunitas guru les, dan berteman dengan orang-orang yang juga punya mimpi besar.
Dan anehnya, semakin aku memperluas circle ke arah yang benar, hidupku ikut berubah.
Orang-orang baru ini bukan cuma mendukung, tapi juga menantang aku untuk terus tumbuh. Mereka nggak menertawakan ideku, mereka bantu mempertajamnya.
Dari mereka aku belajar bahwa mimpi besar itu butuh ruang yang aman untuk tumbuh.
Ibarat menanam benih, jika aku menanam benih di tanah yang salah, jangan heran kalau benih itu nggak pernah tumbuh.
Refleksi Circle
Sekarang, setiap kali aku lewat Tunjungan Plaza dan lihat logo Pizza Hut itu, aku senyum sendiri.
Dulu di tempat itu aku pernah ditertawakan karena punya mimpi. Tapi di tempat yang sama juga, aku pertama kali belajar tentang mental bertahan dan menyeleksi pertemanan.
Aku jadi sadar, terkadang penolakan dan ejekan itu bukan tanda kita salah tapi tanda kita sudah melangkah ke arah yang berbeda.
Dan nggak apa-apa. Karena perubahan besar memang selalu dimulai dari rasa nggak nyaman.
Aku berterima kasih sama mereka, teman-temanku yang dulu menertawakanku. Kalau bukan karena mereka, mungkin aku nggak akan punya semangat sebesar ini untuk membuktikan kalau aku bisa.
Sekarang aku sudah tahu, circle itu seperti cermin. Kalau aku terus bercermin pada orang yang menertawakan impianku, lama-lama aku juga akan ikut menertawakan diriku sendiri. Tapi kalau aku bercermin pada orang yang berani bermimpi, aku akan belajar untuk menatap masa depan dengan percaya diri.
Circle yang membuat mimpi bertumbuh
Circle yang tepat itu bukan yang selalu memuji, tapi yang berani jujur tanpa mematikan semangatmu.
Circle yang sehat bukan yang bilang “nggak bisa”, tapi yang bilang, “ayo kita cari cara biar bisa.”
Saat aku belajar matematika, aku belajar bahwa setiap masalah pasti punya solusi, asal aku mau mikir dan berusaha. Ternyata hidup juga sama.
Setiap olokan, setiap penolakan, setiap keraguan semua itu cuma variabel dalam rumus besar kehidupan. Dan selama aku nggak menyerah mencari “x”-nya, hasil akhirnya tetap bisa aku tentukan sendiri.
Jadi buat siapa pun yang sekarang sedang ditertawakan karena punya mimpi, percayalah suatu hari nanti, mereka akan melihat hasil kerjamu, dan diam.
Dan saat itu datang, bukan waktunya untuk balas dendam. Cukup tersenyum, sambil mengingat satu hal, Mimpi yang dulu mereka sebut mustahil, kini berdiri di depanmu, nyata.
Karena kamu berani melangkah, bahkan ketika semua orang menyuruhmu berhenti.
.jpg)
No comments:
Post a Comment