Aku mulai belajar personal finance bukan dari buku, bukan dari seminar, dan bukan dari video motivasi. Aku belajar karena kepepet. Waktu itu, bisnisku nyaris tumbang. Rasanya kayak berdiri di tepi jurang satu langkah salah aja bisa langsung jatuh ke bawah.
Semuanya berawal di akhir tahun 2019. Saat itu aku lagi semangat-semangatnya. Bisnis jasa pembersihan springbed dan sofa yang aku bangun dari nol akhirnya mulai naik. Orderan banyak, pelanggan puas, dan aku mulai mikir buat ekspansi.
Aku datangi bank, ajukan kredit, dan akhirnya disetujui. Mesin baru kubeli, karyawan baru kuambil, bahkan aku udah siap dengan armada baru. Di kepala, masa depan terlihat cerah banget. Tapi ya, hidup nggak bisa ditebak. Beberapa bulan kemudian, pandemi datang.
Dunia berubah total. Orang-orang menutup diri, takut keluar rumah. Sedangkan bisnisku justru harus datang ke rumah customer. Gimana mau jalan, kalau semua orang takut dikunjungi? Orderan berhenti. Telepon sepi. Karyawan mulai bingung, dan aku mulai panik.
Yang paling bikin stres, cicilan kredit tetap jalan. Nggak peduli ada pandemi atau nggak, tanggal jatuh tempo tetap datang tiap bulan. Saat itu aku sadar, ada satu hal penting yang aku abaikan dari awal aku nggak punya dana darurat yang cukup panjang.
Dana Darurat 3 bulan
Aku pernah baca dari para financial planner bahwa idealnya kita punya dana darurat untuk tiga bulan pengeluaran. Dan aku udah punya. Tapi ternyata, rumus itu nggak cocok buat semua orang, terutama buat wiraswasta kayak aku.
Kalau gaji bulanan orang kantoran masih bisa stabil, pendapatan usahawan itu kayak ombak kadang tinggi, kadang nggak ada sama sekali. Dan waktu pandemi, ombak itu benar-benar surut.
Tiga bulan pertama aku masih bertahan. Tapi bulan keempat, kelima, keenam… rasanya kayak tenggelam pelan-pelan. Aku mulai kepikiran buat jual aset, tapi hati kecilku bilang: jangan buru-buru menyerah. Ada cara lain.
Pohon Jati Meranggas
Sampai suatu hari, aku duduk di depan rumah, liatin pohon jati di seberang jalan. Daunnya rontok semua, gundul. Aku sempat mikir, “pelit banget ini pohon, masa semua daunnya dijatuhin?” Tapi makin kupikir, aku malah belajar sesuatu dari situ.
Pohon jati meranggas bukan karena lemah, tapi karena cerdas. Saat musim kemarau, dia tahu kalau air sulit didapat. Daunnya yang lebar-lebar bisa mempercepat penguapan, jadi dia rela menggugurkannya. Biar tetap hidup.
Daripada mati kehausan, lebih baik irit-irit pengeluaran air.
Dan di situ aku ngerasa, mungkin aku harus belajar jadi pohon jati. Mungkin ini saatnya buat “meranggas”.
Penghematan Besar Besaran
Akhirnya aku mulai melakukan satu hal yang paling susah buat pengusaha, mengurangi pengeluaran sampai ke akar.
Tagihan listrik? Aku pangkas. Dari yang biasanya hampir jutaan per bulan, bisa turun sampai 20%. Caranya? AC aku matikan total, lampu diganti LED, alat-alat yang nggak kepake dimatikan, dicabut kabelnya.
Makan juga aku ubah. Biasanya beli di luar, sekarang masak sendiri. Awalnya canggung, tapi lama-lama terbiasa. Dari situ, pengeluaran makan bisa turun sampai 25%.
Aku bener-bener teliti tiap rupiah yang keluar. Semua pengeluaran aku catat, aku analisa: penting nggak? Kalau nggak penting, coret.
Bukan cuma urusan pribadi, tapi juga bisnis. Aku kurangi tenaga kerja, dan semua yang bisa kukerjakan sendiri, aku kerjakan sendiri. Aku fokus di bisnis yang menguntungkan dan mendatangkan cash.
Aku kerja dari jam 6 pagi sampai jam 10 malam. Kadang badan pegal semua, tapi aku nggak berhenti. Bahkan saat takbiran hari raya idul fitri, waktu orang lain istirahat dan kumpul keluarga, aku masih kerja. Tujuannya cuma satu, nambah napas bisnis, nambah dana darurat, biar bisa bertahan hidup.
Pelan-pelan, hasilnya mulai kelihatan.
Awalnya, aku cuma berharap bisa bertahan tiga bulan lagi. Tapi karena pengeluaran makin efisien, dana daruratku malah bertambah. Dari 3 bulan, jadi 6 bulan, lalu 1 tahun, sampai akhirnya bisa tahan 3 tahun.
Yang lebih penting, bisnis perlahan-lahan mulai pulih. Orderan balik sedikit demi sedikit. Pelanggan lama mulai percaya lagi. Dan selama itu, cicilan bank nggak pernah bolong satu kali pun. Itu yang bikin aku paling bangga bukan karena usahaku besar, tapi karena aku berhasil bertahan tanpa lari dari tanggung jawab.
Pelajaran Penting
Dari pengalaman itu, aku belajar satu hal besar, hemat bukan soal pelit, tapi soal bertahan.
Banyak orang salah paham soal penghematan. Mereka pikir, kalau terlalu ngirit, hidup jadi nggak nikmat. Tapi buatku, ngirit itu bukan berarti nggak menikmati hidup, tapi menunda kesenangan demi bisa hidup lebih panjang.
Aku jadi ingat lagi pohon jati tadi. Saat musim kemarau, dia memang kelihatan gundul dan kering. Tapi begitu musim hujan datang, siapa yang paling cepat tumbuh lagi?
Ya dia. Pohon jati udah siap, karena dia punya akar yang kuat.
Dan mungkin hidup juga begitu. Kadang kita memang harus rela “meranggas” sementara melepaskan hal-hal yang kelihatan indah tapi nggak esensial demi bertahan. Bukan karena kita pelit, tapi karena kita tahu apa yang paling penting.
Dari situ aku mulai menerapkan prinsip baru dalam keuanganku. Kalau dulu aku cuma berpikir “yang penting cukup tiga bulan dana darurat,” sekarang aku ubah.
Aku mulai hitung kebutuhan bisnis dan pribadi secara terpisah. Aku bikin dua tabungan darurat, satu buat pribadi, satu buat bisnis.
Aku juga mulai bikin simulasi worst case scenario. Misalnya, kalau tiba-tiba bisnis berhenti enam bulan, apa aku masih bisa bayar cicilan, gaji, dan kebutuhan rumah? Kalau belum bisa, berarti aku belum aman.
Dan yang paling aku ubah, adalah cara pandangku terhadap uang.
Dulu, aku selalu berpikir uang itu harus terus diputar biar berkembang. Sekarang aku tahu, sebagian uang justru harus “diam” jadi bantalan, jadi oksigen, jadi ruang bernafas. Karena uang yang diam itu bukan sia-sia, tapi penyelamat.
Sekarang, setiap kali aku lihat pohon jati di depan rumah itu, aku selalu senyum. Aku ingat masa-masa di mana aku juga “meranggas.” Saat semua orang kelihatan indah dengan daunnya masing-masing, aku justru gundul tapi aku tahu, itu bukan akhir. Itu cuma fase bertahan.
Penutup
Tiga tahun kemudian, aku masih berdiri. Bisnisku hidup. Utang lunas. Dan aku jauh lebih bijak dalam mengatur keuangan.
Kadang aku pikir, mungkin Tuhan memang punya cara unik buat ngajarin kita sesuatu. Kadang lewat kesulitan, kadang lewat pohon jati di pinggir jalan. Yang penting, kita mau belajar. Karena dalam dunia bisnis maupun hidup, yang bertahan bukan yang paling kuat, tapi yang paling cepat beradaptasi.
Dan adaptasi itu, sering kali, dimulai dengan berani menggugurkan “daun-daun” yang nggak penting.
Seperti pohon jati, yang tampak kehilangan segalanya, padahal sebenarnya sedang mempersiapkan diri untuk hidup lebih lama.

No comments:
Post a Comment