Sunday, November 21, 2010

Budaya Organisasi, Dapatkah Diubah?



Merubah budaya organisasi luar biasa sulitnya, tetapi budaya-budaya itu dapat diubah. Misalnya, Lee Iacocca masuk Chrysler Corp. Dalam tahun 1978, ketika perusahaan itu tampak tertinggal beberapa pekan lagi akan bangkrut. Diperlukan waktu lima tahun tetapi ia menerima budaya Chrysler yang konservatif, melihat ke dalam, dan berorientasi rekayasa dan mengubahnya menjadi budaya yang berorientasi tindakan, tanggap pasar. Cerita ini sudah diketahui banyak orang.
Bukti mengemukakan bahwa perubahan budaya paling mungkin terjadi bila kebanyakan atau semua kondisi berikut ini ada:

Suatu krisis dramatis. Inilah kejutan yang menghancurkan status quo dan mengemukakan pertanyaan mengenai relevansi budaya yang ada. Contoh dari krisis ini mungkin berupa suatu kemunduran finansial yang mengejutkan, hilangnya pelanggan utama, atau terobosan teknologis yang dramatis oleh pesaing. Para eksekutif pada Pepsi-Cola dan Ameritech bahkan mengakui menciptakan krisis agar merangsang perubahan budaya dalam organisasi mereka. Misalnya saja, baru ketika eksekutif dari General Motors dan AT&T mampu dengan sukses menyampaikan kepada para karyawan krisis-krisis yang ditimbulkan oleh pesaing maka membuat budaya organisasi itu mulai menunjukkan tanda-tenda perubahan untuk menyesuaikan.

Pergantian kepemimpinan. Kepemimpinan puncak yang baru, yang dapat memberikan suatu perangkat alternatif dari nilai-nilai kunci, dapat dipersepsikan sebagai lebih mampu dalam menanggapi krisis itu. Yang pasti disini adalah eksekutif kepala dari organisasi itu tetapi itu juga mungkin perlu mencakup semua posisi manajemen senior. Mempekerjakan dirut dari luar pada IBM (Louis Gerstner) dan General Motor (Jack Smith) melukiskan upaya untuk memperkenalkan kepemimpinan baru.

Organisasi yang muda dan kecil. Makin muda organisasi itu, akan makin kurang berakar budayanya. Sama halnya, lebih mudah bagi manajemen untuk mengkomunikasikan nilai-nilainya yang baru bila organisasi itu kecil. Sekali lagi ini membantu menjelaskan kesulitan yang dihadapi korporasi multimiliar-dolar dalam mengubah budayanya.

Budaya lemah. Makin luas suatu budaya dianut dan makin tinggi kesepakatan di kalangan anggota mengenai nilai-nilainya, akan makin sulit mengubah budaya itu. Sebaliknya, budaya lemah lebih mudah menerima perubahan dari pada budaya yang kuat.
Jika kondisi-kondisi mendukung perubahan budaya, hendaknya anda mempertimbangkan saran-saran berikut:

Buatlah orang-orang manajemen puncak menjadi model peran yang positif, dengan menentukan nada lewat perilaku mereka.

Ciptakan cerita, lambang, dan ritual baru untuk menggantikan yang dewasa ini berlaku.
Pilih, promosikan, dan topang karyawan yang mendukung nilai-nilai baru yang dicari. Rancang ulang proses sosialisasi untuk digandeng dengan nilai-nilai baru itu. Ubahlah sistem imbalan untuk mendorong penerimaan atas seperangkat nilai yang baru

Gantilah norma-norma tidak tertulis dengan aturan dan pengaturan formal yang dijalankan dengan ketat

Guncanglah anak-budaya yang berlaku lewat transfer, perputaran pekerjaan, dan/atau pemutusan hubungan kerja.

Berusahalah untuk memperoleh konsensus kelompok dari rekan sekerja lewat pemanfaatan partisipasi karyawan dan menciptakan suatu iklim dengan tingkat kepercayaan yang tinggi.
Dengan melaksanakan sebagian besar atau semua saran ini tidak akan menghasilkan pergeseran yang segera atau drastis dalam budaya organisasi. Dalam analisis final, perubahan budaya meruapkan proses yang panjang dan tahunan. Tetapi jika pertanyaannya adalah, “Dapatkah budaya diubah?” jawabanya adalah, “Dapat!”
----------------------
dikutip dari milis inspirasi indonesia

No comments:

Post a Comment